Pages

Selasa, 22 Mei 2012

Ibu Jari Ibu

Oleh: Suyatno Ilustrasi: Hanif Muzakki

IBU PERNAH bercerita, dahulu Ibu menjadi buruh pipil jagung. Yang dimaksud pipil jagung itu merontokkan butir jagung dari bonggolnya.
Pekerjaan itu Ibu jalani sejak pukul tujuh pagi hingga pukul empat sore, selama bertahun-tahun.  Semua itu Ibu kerjakan demi upah uang atau jagung untuk sekolah kakak-kakakku.

 

Bagi buruh pipil jagung, masih cerita Ibu, yang paling berperan adalah ibu jari tangan. Beratus-ratus, bahkan ribuan buah jagung dapat rontok oleh ibu jari. Buah jagung kering yang telah dikupas, dipegang tangan kiri. Ibu jari tangan kanan melepas biji jagung larik demi larik.
“Tidak bisa dengan jari telunjuk, jari tengah, jari manis, atau kelingking, Bu?” tanyaku. Ibu tersenyum memandangiku.
“Ya sulitlah. Coba bayangkan, mipil jagung dengan jari lain selain ibu jari,” jawab Ibu.

AKU TERDIAM. Tidak terbayang bagaimana merontokkan biji-biji jagung kering dari bonggolnya.
“Dalam sehari bisa memipil berapa buah jagung, Bu?”
“Kalau dihitung berapa buah, sulit. Tetapi dalam sehari Ibu bisa menghasilkan sekarung jagung pipilan.”
“Satu karung? Banyak sekali Bu. Ibu jari Ibu tidak sakit?” tanyaku.
“Tidak hanya sakit, kadang sampai bengkak dan kulitnya mengelupas.”
“Ibu tetap bekerja dalam keadaan sakit seperti itu?”


“Kalau Ibu tidak bekerja, enggak dapat uang. Lagi pula Ibu kena marah pemilik jagung karena jagung-jagung itu segera dijual.”
“Ibu tetap bekerja harian? Kan ibu jari Ibu sakit?”
“Ya, kadang ibu minta kerja borongan. Dengan begitu, pekerjaan itu dibantu kakak-kakak bahkan oleh Ayah almarhum.”

LIMA TAHUN SUDAH Ibu kutinggalkan di desa. Ibu tinggal bersama kakak- kakak yang telah berkeluarga di desa. Aku sekolah di kota, ikut Paman. Sekarang aku kelas enam SD di sekolah swasta. Semua biaya sekolah ditanggung Paman.
Paman menyadari bahwa aku anak yatim. Paman sangat memerhatikan kelanjutan hidup kami. Aku dan Ibu di desa diberi masing-masing satu telepon genggam. “Untuk komunikasi dengan ibumu di desa. Jangan buat mainan, nanti menggangu belajar,” pesan Paman saat menyerahkan telepon.
“Ya, Paman, terima kasih.”
Sejak kami punya telepon, setiap malam Minggu aku kirim kabar kepada Ibu meIalui pesan singkat. Selain lebih murah dibanding telepon, cara ini juga melatih Ibu agar terampil membaca dan menulis dengan telepon genggam. Aku senang dan bertambah kerasan sekolah di kota, jauh dari Ibu.

MALAM MINGGU ini, seperti biasa, aku siap berbalas SMS dengan Ibu di desa. Tetapi sudah enam SMS tidak dijawab, padahal seIama ini setiap SMS yang kukirim selalu mendapat respons dari telepon genggam itu, “pesan telah disampaikan”.
Ada apa dengan telepon genggam Ibu? Apakah Ibu pergi tidak membawa teleponnya? Ataukah telepon Ibu dicuri orang? Atau, atau, atau…., sejuta pertanyaan di hatiku. Mengapa sudah enam SMS yang kukirim tidak dijawab satu pun?
“Halo, halo Ibu... ini Karina. Halo Ibu...,” ucapku melalui telepon. Biarlah pulsaku yang tinggal lima ribu terpaksa buat menelepon Ibu.
“Ya, halo. Ini Ibu, Nak. Semua SMS-mu sudah Ibu baca, Karina. Tetapi Ibu minta maaf.”
“Kenapa, Ibu?” sergahku.
“Anu, Nak. Ibu enggak bisa menulis di telepon genggam. Ibu jari Ibu sedang sakit, cantengan. Ibu jari cantengan kok ya dua-duanya,” kata Ibu.
Aku tersenyum mendengar jawaban Ibu. Lucu, cantengan saja kok di kedua ibu jari.
“Ya sudah, Bu. Ibu sehat?” tanyaku kepada Ibu.
“Ya. Ibu sehat. Tetapi kedua ibu jari tangan Ibu cantengan. Karina di kota baik-baik saja. kan?”
“Berkat doa Ibu. Karina dan keluarga Paman dalam keadaan sehat.”
“Syukurlah kalau begitu. Jaga kesehatanmu, Karina. Nanti kalau ibu jari Ibu sudah sembuh, kita berbalas SMS lagi. Sekarang segera tutup teleponmu, nanti pulsamu habis,” ucap Ibu mengajak mengakhiri obrolan lewat telepon genggam.


LEGA HATIKU. Ibu ternyata dalam keadaan baik, teleponnya pun masih dalam genggamannya. Yang membuatku selalu tersenyum, saat mengenang sakit cantengan ibu jari Ibu.
Lucu! Dahulu, Ibu tidak bisa bekerja pipil jagung gara-gara ibu jarinya sakit. Sekarang Ibu tidak bisa menulis SMS juga gara-gara ibu jarinya sakit.
Jadi, dahulu hingga sekarang peran ibu jari sangat berat. Aku selalu bersyukur, kedua ibu jariku sehat dan selalu kujaga kesehatannya.

Suyatno
Penulis Cerita Anak - Tinggal di Tangerang.


Ruang Baca Anak
Cerita-Cerita | Kompas, Minggu, 24 Januari 2010

Bagi Anda yang menginginkan artikel ini dalam bentuk file PDF, silahkan tinggalkan alamat email pada kolom komentar. Semoga kami bisa mengirimkannya bagi Anda.

0 komentar:

Posting Komentar