Oleh: Suyatno
Ilustrasi: Hanif
Muzakki
IBU PERNAH bercerita, dahulu Ibu menjadi buruh pipil
jagung. Yang dimaksud pipil jagung itu merontokkan butir jagung dari bonggolnya.
Pekerjaan itu Ibu jalani sejak pukul tujuh pagi
hingga pukul empat sore, selama bertahun-tahun. Semua itu Ibu kerjakan demi upah uang atau jagung
untuk sekolah kakak-kakakku.
Bagi buruh pipil jagung, masih cerita Ibu, yang
paling berperan adalah ibu jari tangan. Beratus-ratus, bahkan ribuan buah
jagung dapat rontok oleh ibu jari. Buah jagung kering yang telah dikupas,
dipegang tangan kiri. Ibu jari tangan kanan melepas biji jagung larik demi larik.
“Tidak bisa dengan jari telunjuk, jari tengah, jari
manis, atau kelingking, Bu?” tanyaku. Ibu tersenyum memandangiku.
“Ya sulitlah. Coba bayangkan, mipil jagung dengan jari lain selain ibu jari,” jawab Ibu.
AKU TERDIAM. Tidak terbayang bagaimana merontokkan
biji-biji jagung kering dari bonggolnya.
“Dalam sehari bisa memipil berapa buah jagung, Bu?”
“Kalau dihitung berapa buah, sulit. Tetapi dalam sehari
Ibu bisa menghasilkan sekarung jagung pipilan.”
“Satu karung? Banyak sekali Bu. Ibu jari Ibu tidak
sakit?” tanyaku.
“Tidak hanya sakit, kadang sampai bengkak dan
kulitnya mengelupas.”
“Ibu tetap bekerja dalam keadaan sakit seperti itu?”
“Kalau Ibu tidak bekerja, enggak dapat uang. Lagi
pula Ibu kena marah pemilik jagung karena jagung-jagung itu segera dijual.”
“Ibu tetap bekerja harian? Kan ibu jari Ibu sakit?”
“Ya, kadang ibu minta kerja borongan. Dengan begitu,
pekerjaan itu dibantu kakak-kakak bahkan oleh Ayah almarhum.”
LIMA TAHUN SUDAH Ibu kutinggalkan di desa. Ibu tinggal
bersama kakak- kakak yang telah berkeluarga di desa. Aku sekolah di kota, ikut
Paman. Sekarang aku kelas enam SD di sekolah swasta. Semua biaya sekolah
ditanggung Paman.
Paman menyadari bahwa aku anak yatim. Paman sangat
memerhatikan kelanjutan hidup kami. Aku dan Ibu di desa diberi masing-masing
satu telepon genggam. “Untuk komunikasi dengan ibumu di desa. Jangan buat mainan,
nanti menggangu belajar,” pesan Paman saat menyerahkan telepon.
“Ya, Paman, terima kasih.”
Sejak kami punya telepon, setiap malam Minggu aku kirim
kabar kepada Ibu meIalui pesan singkat. Selain lebih murah dibanding telepon,
cara ini juga melatih Ibu agar terampil membaca dan menulis dengan telepon genggam.
Aku senang dan bertambah kerasan sekolah di kota, jauh dari Ibu.
MALAM MINGGU ini, seperti biasa, aku siap berbalas
SMS dengan Ibu di desa. Tetapi sudah enam SMS tidak dijawab, padahal seIama ini
setiap SMS yang kukirim selalu mendapat respons dari telepon genggam itu, “pesan
telah disampaikan”.
Ada apa dengan telepon genggam Ibu? Apakah Ibu pergi
tidak membawa teleponnya? Ataukah telepon Ibu dicuri orang? Atau, atau, atau….,
sejuta pertanyaan di hatiku. Mengapa sudah enam SMS yang kukirim tidak dijawab
satu pun?
“Halo, halo Ibu... ini Karina. Halo Ibu...,” ucapku melalui
telepon. Biarlah pulsaku yang tinggal lima ribu terpaksa buat menelepon Ibu.
“Ya, halo. Ini Ibu, Nak. Semua SMS-mu sudah Ibu baca,
Karina. Tetapi Ibu minta maaf.”
“Kenapa, Ibu?” sergahku.
“Anu, Nak. Ibu enggak bisa menulis di telepon
genggam. Ibu jari Ibu sedang sakit, cantengan. Ibu jari cantengan kok ya
dua-duanya,” kata Ibu.
Aku tersenyum mendengar jawaban Ibu. Lucu, cantengan
saja kok di kedua ibu jari.
“Ya sudah, Bu. Ibu sehat?” tanyaku kepada Ibu.
“Ya. Ibu sehat. Tetapi kedua ibu jari tangan Ibu
cantengan. Karina di kota baik-baik saja. kan?”
“Berkat doa Ibu. Karina dan keluarga Paman dalam
keadaan sehat.”
“Syukurlah kalau begitu. Jaga kesehatanmu, Karina.
Nanti kalau ibu jari Ibu sudah sembuh, kita berbalas SMS lagi. Sekarang segera
tutup teleponmu, nanti pulsamu habis,” ucap Ibu mengajak mengakhiri obrolan lewat
telepon genggam.
LEGA HATIKU. Ibu ternyata dalam keadaan baik, teleponnya
pun masih dalam genggamannya. Yang membuatku selalu tersenyum, saat mengenang
sakit cantengan ibu jari Ibu.
Lucu! Dahulu, Ibu tidak bisa bekerja pipil jagung
gara-gara ibu jarinya sakit. Sekarang Ibu tidak bisa menulis SMS juga gara-gara
ibu jarinya sakit.
Jadi, dahulu hingga sekarang peran ibu jari sangat
berat. Aku selalu bersyukur, kedua ibu jariku sehat dan selalu kujaga kesehatannya.
Suyatno
Penulis Cerita Anak - Tinggal di Tangerang.
Ruang
Baca Anak
Cerita-Cerita | Kompas, Minggu, 24 Januari
2010
Bagi
Anda yang menginginkan artikel ini dalam bentuk file PDF, silahkan
tinggalkan alamat email pada kolom komentar. Semoga kami bisa
mengirimkannya bagi Anda.
0 komentar:
Posting Komentar